Contoh Puisi
Kemana
ku kan Pergi
Karya: Dwi Pommy
Pebrianti
Kelamnya mentari
Petanglah kemari
Disaat sanubari
Tenggelam menyendiri
Kemana ku kan pergi?
Melangkah pun tak pasti
Ku gapai langit tinggi
Terjatuh pula akhir
Samudera luas menanti
Namun menghilanglah air
Kemana ku kan pergi?
Melangkah pun tak pasti
Serdadu berjajar rapi
Membatasi tembok tinggi
Kemana ku kan pergi?
Melangkah pun tak pasti
Datanglah cahaya suci
Membawaku menjelajahi
Indahnya diri
Berpadu harumnya kasturi
Tiada lain Kuasa Ilahi
=======================================================
Contoh Cerpen
Karbon Dioksida
Karya: Dwi Pommy Pebrianti
Aku rasa, semua orang satu suara tentang hal ini.
Kita, manusia gak bisa hidup tanpa udara. Gak bisa hidup kalau gak ada oksigen.
Tapi, aku rasa aku bukanlah satu diantara semua suara itu. Menurutku, kita gak
bisa hidup kalau karbon dioksida gak ada. Kenapa? Kita dapat oksigen dari mana?
Tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan oksigen harus ngerubah apa dulu? Karbon
dioksida. Dan dia membantuku kembali berpijak pada bumi. Iya, dia. Sebuah
Karbon. ***
Berpisah dengan orang terdekat memang mengerikan. Berada
di antara orang-orang baru dan gak tahu harus bagaimana, itu menyulitkan. Namun
hal ini tak akan menyurutkan semangatku untuk mendapatkan predikat juara satu (lagi). I can. Cause I think I
can.
Ngomong-ngomong, dia, iya dia, orang
yang pernah ku temui di masjid sekolah semester lalu, se kelas denganku?
***
“Dwi, kamu nanti
jadi MC, ya?” pinta ketua Osis padaku, aku mengangguk.
“Oh iya, sama
Aldri!” tambahnya. Aldri? Kenapa harus
sama Aldri? Ku tatap dia lekat-lekat. Namun, aku tak tahu kenapa tiba-tiba kami
tak jadi dipasangkan.
***
Iya, itu dia, namanya Aldri. Sesosok mahkluk berkacamata,
berperawakan sedang, dan cukup manis, aku rasa!
Tapi, kok ini anak aneh banget, ya! Lebih banyak diam ketimbang bicara.
Bahkan bisa dibilang gak bicara sama sekali. Aneh!
Pernah suatu hari sebelum pelajaran di mulai, ku dapati dia sedang membaca
buku. Rajin, pikirku. Aku tersenyum. Posisi duduknya di belakang, membuatku
leluasa untuk memperhatikannya.
“Win, Loe kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Hah, iya?” Aku tersentak. Rupanya Indah dari tadi
memperhatikanku yang sedang aneh ini.
“Ah, nggak!” jawabku sambil merubah posisi duduk ke arah
depan.
Setelah hari demi hari ku perhatikan, dia memang berbeda. Entahlah, aku tak
bisa menjelaskan apa yang sedang ku rasakan.
Namun saat melihatnya, aku tak tahan untuk tidak tersenyum.
Satu bulan aku dan Adri satu kelas. Dalam kurun waktu
satu bulan Aldri memang tetap diam. Tapi, ketika jam pelajaran di mulai, dengan
lihai nya dia menarik semua perhatian guru. Terutama saat pelajaran kimia. Saat
itu rasa takut tersaingi lebih dominan daripada rasa suka yang sudah lama
meranum.
Hari itu, kami sedang belajar kimia. Duh, tak bisa ku gambarkan betapa
kesalnya aku pada si Aldri. Hmm, sebenarnya Aldri gak salah. Hanya saja kenapa
Bu Guru selalu menyebut nyebut namanya? Sedikit-sedikit pasti Aldri.
“Dasar Karbon!” celetuk ku sambil memukul meja.
“Astagfirullah, Dwina, istigfar! Lagian juga kalau Lo
suka sama kimia, jangan se antusias, gitu, kenapa?” Indah yang duduk di samping
ku sedikit marah.
“Lo gak nyadar apa, yang suka kimia tuh bukan gue, tuh si
Karbon!” tungkas ku sedikit kesal.
“Oo, maksud Loe, Aldri, Win?” Indah mangut-mangut.
“Ya, iyalah! Badan penuh karbon kaya gitu, mana mungkin
gak suka pelajaran kimia!”
“Eh, Loe jangan ngehina gitu, dong!” balas Indah kepadaku
dengan serius.
“Becanda kali. Ah, udah ah! Gue mau cabut ke kantin!”
segera ku langkah kan kaki ku menuju kantin. Indah juga ikut. Dia udah biasa
kena imbasnya kalau aku sedang kesal. Satu hal yang ku suka dari Indah, dia gak
pernah sampe marah kalau lagi kayak gini. Maklum, dari SMP kita bareng-bareng.
Tiba-tiba...
Daakkk. Aku bertubrukkan dengan seseorang.
“Maaf, maaf” katanya,
berusaha menolongku yang sudah terjatuh ke lantai dengan buku yang
berserakan dimana-mana, yang pasti itu bukan punyaku. Saat ku dongakkan kepala,
“Aldri?”
“Dwina? Maaf- maaf, saya tadi buru-buru. Jadi saya gak
sempat lihat kamu!” tak sepatah kata pun keluar dari mulut. Cepat-cepat aku
berlari dan meninggalkan Aldri yang diam mematung menatapku dengan rasa
bersalahnya.
***
Satu minggu setelah kejadian si Karbon menubrukku. Ya, sekarang panggil
saja dia Karbon, aku sudah terlampau kesal.
Hari ini, hari Senin. Guru bahasa Indonesia menyuruhku untuk menyimpan buku
tugas anak-anak ke ruang guru. Setelah ku dapati mejanya, ku simpan setumpukkan
buku bersampul cokelat itu di atasnya.
“Aldri..” seorang guru memanggil nama yang sudah tak
asing lag. Yap, si Karbon. Ternyata
beliau guru matematika.
“Aldri, kamu mau ikutan olimpiade matematika?” aku
terperangah. Begitu mudahnya beliau menawarkan tiket berharga itu. Tiket yang
ku idam-idamkan sejak dulu.
“Tidak, Bu.” jawab Aldri sesingkat mungkin.
“Lho, kenapa? Ibu lihat kamu pintar sekali dalam
pelajaran matematika.”
“Tidak, Bu, saya tidak minat pada matematika. Minat saya pada kimia.” Apa? Si Karbon itu? Bisa-biasanya dia ngomong kaya gitu. Dasar rese! Segera ku tinggalkan ruang guru dengan perasaan kesal yang tertinggal. Tanpa sadar, aku berpapasan dengan si Karbon di luar. Di luar dugaan, dia menghentikanku
“Tidak, Bu, saya tidak minat pada matematika. Minat saya pada kimia.” Apa? Si Karbon itu? Bisa-biasanya dia ngomong kaya gitu. Dasar rese! Segera ku tinggalkan ruang guru dengan perasaan kesal yang tertinggal. Tanpa sadar, aku berpapasan dengan si Karbon di luar. Di luar dugaan, dia menghentikanku
“Dwina, kamu belum maafin saya.” What? Ini Karbon
bisa minggir gak sih, sejak kapan dia suka ngomong sama orang?
“Udah gue maafin” jawabku sambil berlalu meninggalkannya.
Dia mencegatku
“Kamu kenapa? Kamu gak suka sama saya? Kalau ini karena
saya waktu itu gak sengaja nubruk kamu, saya kan sudah minta maaf”
“Loe tuh ya! Dari awal kita se kelas, Gue udah gak suka
sama loe!”
“Memang salah saya apa?”
“Loe nanya salah loe apa? Loe tuh belagu. Loe tuh so
deket sama guru,so pinter! Sampe- sampe tawaran olimpiade aja loe tolak! Gue
gak suka sama loe, semua guru loe curi perhatiannya. Gue benci!” Setelah aku
selesai bicara, Aldri diam tak bergeming. Perlahan dia membalikkan badan dan
berjalan meninggalkanku.
“Dasar Karbon!” Teriak ku kesal. Aldri yang sudah
berjalan cuku jauh berbalik arah dan berjalan mendekatiku..
“Terimakasih sudah tidak menyukai saya. Tapi maaf, saya
sama sekali tidak membencimu.”
Aku terdiam. Kenapa malah aku yang merasa di tusuk belati? Kenapa dia gak
marah?
***
Hari demi hari ku lalui, ulangan demi ulangan saling bergantian menyapa.
Kenyataan yang harus selalu ku terima adalah selalu menjadi yang kedua setelah
si Karbon. Hingga satu semester berlalu, kenyataan pahit yang ku dapatkan.
Menjadi nomor dua untuk ke sekian kalinya setalah si Karbon.
Semua orang sudah pulang, hanya aku seorang yang masih
tinggal. Duduk di sudut pojok kelas tak lama kemudian aku menangis. Aku tak
kuasa menahan semua ini, untuk pertama kalinya aku mendapat peringkat dua. Kenapa
begini? Apa aku kurang berusaha? Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk
menjadi yang pertama. Kenapa?
Tak berselang lama, terdengar suara pintu kelas di buka.
Itu dia, sang juara kelas. Diaa datang menyambangiku. Entah, mungkin hendak
memamerkan kemenangannya.
“Selamat” Aldri Karbon itu berdiri di depanku.
“Apa, Loe? Mau pamer?” kataku sambil mengusap pipi yang
sudah basah karena hujan deras yang diproduksi oleh mata.
“Kamu tahu bedanya
kamu sama saya?” Diam. Tak ku jawab pertanyaannya.
“Kamu terlalu di perbudak oleh ambisimu. Kamu belajar
untuk memenuhi ambisi besarmu itu. Segala cara aku lakukan untuk memenuhinya.
Dampaknya kamu gak bisa menerima kenyataan bahwa masih ada langit di atas
langit. Jiwamu tak bisa berdamai dengan kerendahan hati.” Aku diam membisu.
Semua yang Karbon itu ucapkan seolah anak panah yang tepat mengenain
sasarannya. Hatiku.
***
Dua tahun berlalu, hari ini adalah hari bersejarah. Tiga tahun mengeyam
pendidikan di bangku SMA, akhirnya hari ini aku lulus.
Aldri Karbon itu tentu saja menjadi lulusan terbaik. Aku? Aku lulusan
terbaik setelahnya.
“Selamat ya, Karbon!” bisikku padanya.
“Kamu juga, Dioksida!” Aldri senyum padaku.
***
0 comments:
Post a Comment